Erika, MURI dan Ekonomi Atensi
Oleh : Bambang Haryanto
Eureka, Erika !
Dear Erika, pernahkah tercetus gagasan pada dirimu untuk memperoleh penghargaan MURI ? Saya senang bila reaksimu setelah membaca pertanyaan ini adalah tertawa. Mungkin yang segera muncul di benakmu adalah pertanyaan besar : Apa mungkin ? Atau : untuk apa Penghargaan MURI bagi seorang Erika ?
Flashback ke suasana Hotel Grasia, Semarang, 27 Januari 2005. Saya senang mengenang tanggal dan hari ini, karena pada hari itu saya terperangkap pandangan (sesuai teori blink-nya Malcolm Gladwell yang sudah saya ceritakan di email sebulan lalu) terhadap seorang lady in black (judul lagu topnya Uriah Heep !) yang menawan, yang dua bulan kemudian ternyata bernama indah Erika. Saat itu acara televisi Bussettt sama sekali tak ada di kepalaku ini.
Ringkasnya, moga Erika tak lupa, di acara HUT MURI Ke-15 itu seorang Helmy Yahya pun, yang sudah kondang itu, ternyata nampak berbangga dan bergembira memperoleh MURI-nya. Juga Ruddy Choirudin, selebritis masak-memasak di televisi. Bahkan pemilik usaha raksasa batik Danarhadi, Solo, juga berupaya memperoleh penghargaan MURI dan sekaligus membuatnya berbangga saat memperolehnya.
Erika, kalau mau, kau bisa memperoleh MURI pula. Dan prestasi itu cukup penting bagi dirimu. Tetapi terutama landasan filosofi atau alasannya, menurutku lho, yang justru lebih penting untuk Erika ketahui demi kemajuan kariermu, cita-citamu. Mengapa penting ? Dan seberapa penting ?
Erika, kamu saat ini kan berkarier di dunia media massa, dunia televisi. Saya ingin mengingatkan kembali, betapa dalam dunia satu ini komoditas yang terpenting adalah : atensi, perhatian. Para selebritis itu produk jualan utamanya adalah atensi, perhatian, bukan ?
Bahkan seorang Michael Goldhaber (Centre for Technology & Democracy di San Francisco, AS) bilang, dunia sekarang ini didominasi oleh prinsip-prinsip ekonomi atensi. Pengungkapan segala macem kasus kawin-cerai para selebritis sampai gugat-menggugat seperti yang diaduk-aduk dalam acara infotainment, menurut Goldhaber, ujung-ujungnya adalah upaya menarik atensi, perhatian.
Bagi program dan TV yang menayangkannya (semakin banyak eyeballs yang menonton berarti semakin tinggi ratingnya, bukan ?) mau pun selebritis yang jadi bahan gunjingan, akumulasi atensi penonton adalah identik dengan peningkatan atau penurunan rejeki. Hitung-hitungan ekonomi, bukan ? Apalagi, publikasi jelek pun tetap saja berguna. Hingga seorang Oscar Wilde menulis : hal yang lebih jelek daripada digunjingkan orang adalah bila tidak digunjingkan orang. Keterkenalan adalah aset, komoditas yang berharga dalam konteks ekonomi atensi.
Nah, Erika, kamu selama ini telah berada di tengah pusaran dunia semacam itu, bukan ? Dan tak ada salahnya bila dengan cara-cara unik plus halal, Erika juga mampu memetik kiat-kiat ekonomi atensi tersebut demi peningkatan karier dan cita-citamu, bukan ?
Sebagai seseorang yang berkarier dalam industri televisi, yang kebetulan (masih) berada di belakang kamera, apa Erika kepingin menjadi terkenal dengan cara terpaksa seperti peristiwa tragis dan menyedihkan yang dialami oleh almarhum Ersa Siregar ? Apa harus melalui saat-saat menegangkan seperti yang dialami oleh Meutia Hafid dan Budiyanto ?
Wah, aku inget kejadian otentik 4/3/2005, saat Erika, Sabar dan Yanto, mau cabut dari Kajen, Wonogiri. Saat itu saya ingatkan dengan guyon, “jangan meliput sampai Irak ya”. Ajaib bin ajaib, saya terkaget sama jawaban humor cerdasnya Erika, yang bilang bahwa bila sampai ke Irak justru akan berpromosi kepada para penculik, “sandera saya, sanderalah saya !”
Ha, ha, ha. Well, rupanya mindset sebagai selebritis telah menyatu pada dirimu, Erika. Saya tahu potensimu itu, dan semua orang juga tahu (baca = Erika cantik !), maka surat ini pun hanya ingin memberi usul-usil gagasan upaya menampakkan keistimewaanmu itu (tetapi bukan hanya kecantikannya saja) agar sosok Erika semakin nyata muncul di permukaan dunia pertelevisian tempatmu berkiprah selama ini.
Begini Erika, nama “Jepang”-mu yang unik itu kan setiap hari muncul di televisi. Tetapi berbeda dengan pemunculan Lyra Virna, namamu muncul masih secara bergerombol dengan puluhan nama kru lainnya. Mungkin yang ngeh dan tahu siapa priyayi di balik nama “Erika Michiko” itu tidak banyak. Saya termasuk beruntung, karena bisa sedikit tahu siapa empunya nama wong Jepang ayu itu.
Nah, dengan kelak memperoleh MURI, paling tidak, namamu dan sosokmu pasti berpeluang untuk lebih menonjol, minimal, di antara gerombolan nama-nama pekerja televisi sesama kolegamu itu.
Dengan kelak memperoleh MURI, mungkin nanti Erika berpeluang bisa muncul di DEPAN kamera ! Mungkin untuk seterusnya, dengan menjadi presenter sesuatu acara. Kariermu di radio mempunyai langkah logis bila “naik pangkat”-nya jadi presenter televisi, bukan ?
Nanti Erika bener-bener sebagai selebritis. Mungkin malah akan diliput sendiri dalam Bussettt Erika belum pernah merasakan sensasinya, bukan ? Aku saja yang tak bisa nonton pemunculanku sendiri di TV7, 20/3/2005, tetapi reaksi teman-teman yang memberitahuku sudah memuaskan sensasi itu. Paling tidak, minimal Erika pasti tampil LEBIH ISTIMEWA di antara sesama kru Shandika atau pun kru rumah produksi lainnya.
Rahasia besar untuk memperoleh MURI itu sudah terhimpun di Communicator-mu, Erika. Inilah klaim yang saya usulkan dan dapat Erika kirimkan ke Pak Paulus Pangka di MURI, Semarang : SEBAGAI REPORTER TELEVISI PERTAMA YANG MEMPROFILKAN 100* PENERIMA MURI DALAM TAYANGAN BUSSETTT DI TV7- PRODUKSI SHANDIKA WIDYA SINEMA. (*Angka 100 itu dapat diubah sebanyak wawancara yang selama ini telah Erika lakukan. Semakin tinggi angkanya, semakin istimewa).
Coba simak baik-baik bunyi klaim di atas. Bahwa penghargaan MURI-mu itu nanti pasti menguntungkan fihak MURI sendiri (mereka akan lebih mudah menerima klaim kamu), mengangkat nama baik tempat kerjamu, Shandika, juga memoles nama baik TV7, dan terutama pasti melambungkan keistimewaan seorang Erika Diana Rizanti pribadi dengan klaim dahsyat sebagai yang “pertama” dalam kategori ini. Minimal dalam konteks ini, dengan berpredikat sebagai yang “pertama”, namamu, Erika Diana Rizanti, akan abadi di MURI.
Semoga usul-usil ini bermanfaat, Erika. Usul-usil ini muncul dipicu buku mungil The Little Pot of Gold : 100 Keys to Success and Wealth-nya Peter Spann (2003), ketika membahas Rahasia Ketiga dari Money Magnetism : Leverage. (hal. 33).
Kata Pak Spann, leverage is all about doing more with what you’ve got. When you apply leverage to a quality product or service, it increases the returns and rewards that you get.
Contoh kecil : gara-gara Erika, tumpukan koran di kamar saya, dengan sedikit bongkar-bongkar bisa memunculkan leverage itu : kumpulan data orang unik yang aku kirimkan ke Erika beberapa waktu lalu. Bahkan kalau mau berpikir smart, ratusan data orang unik yang selama ini tersimpan dalam Communicator-nya Erika, bagiku, merupakan harta karun informasi, juga khasanah wisdom, yang masih tersembunyi dan menunggu untuk dieksploitasi. Tetapi itu akan menjadi cerita yang lain lagi, lain kali.
Sebagai penutup : kalau Erika, Sabar dan Yanto lagi mobiling seputar Solo, silakan mencari Pak Solihin, kampung Kismorejo Rt 1/10, Mojosongo, Jebres, Solo. Ia memiliki pohon pisang macho dan seksi, karena tandan buahnya terlihat “ereksi”, menembus tegak di pertengahan batangnya.
Sedang bila keluyuran sampai Tegal, mainlah ke desa Pangkah, 4 km arah ketimur dari Slawi. Silakan menemukan 11 lokomotif kuno yang selama ini untuk mengangkut tebu, tetapi kini bisa disewa. Sewanya 750 ribu- 1,5 juta. Di kompleks ini Erika silakan banyak-banyak makan tebu, hingga nanti tambah semakin manis.
Sampai jumpa di obrolan mendatang. Mohon maaf bila ada kesalahan besar di sana-sini. Wah, lama-lama saya jadi ketularan mindset orang-orang kru Bussettt ya ? Gawat.
Salam saya,
Bambang Haryanto
Alumnus Bussettt Indonesia
Kajen, Wonogiri, 17 April 2005 : 04.20-07.52
Eureka, Erika !
Dear Erika, pernahkah tercetus gagasan pada dirimu untuk memperoleh penghargaan MURI ? Saya senang bila reaksimu setelah membaca pertanyaan ini adalah tertawa. Mungkin yang segera muncul di benakmu adalah pertanyaan besar : Apa mungkin ? Atau : untuk apa Penghargaan MURI bagi seorang Erika ?
Flashback ke suasana Hotel Grasia, Semarang, 27 Januari 2005. Saya senang mengenang tanggal dan hari ini, karena pada hari itu saya terperangkap pandangan (sesuai teori blink-nya Malcolm Gladwell yang sudah saya ceritakan di email sebulan lalu) terhadap seorang lady in black (judul lagu topnya Uriah Heep !) yang menawan, yang dua bulan kemudian ternyata bernama indah Erika. Saat itu acara televisi Bussettt sama sekali tak ada di kepalaku ini.
Ringkasnya, moga Erika tak lupa, di acara HUT MURI Ke-15 itu seorang Helmy Yahya pun, yang sudah kondang itu, ternyata nampak berbangga dan bergembira memperoleh MURI-nya. Juga Ruddy Choirudin, selebritis masak-memasak di televisi. Bahkan pemilik usaha raksasa batik Danarhadi, Solo, juga berupaya memperoleh penghargaan MURI dan sekaligus membuatnya berbangga saat memperolehnya.
Erika, kalau mau, kau bisa memperoleh MURI pula. Dan prestasi itu cukup penting bagi dirimu. Tetapi terutama landasan filosofi atau alasannya, menurutku lho, yang justru lebih penting untuk Erika ketahui demi kemajuan kariermu, cita-citamu. Mengapa penting ? Dan seberapa penting ?
Erika, kamu saat ini kan berkarier di dunia media massa, dunia televisi. Saya ingin mengingatkan kembali, betapa dalam dunia satu ini komoditas yang terpenting adalah : atensi, perhatian. Para selebritis itu produk jualan utamanya adalah atensi, perhatian, bukan ?
Bahkan seorang Michael Goldhaber (Centre for Technology & Democracy di San Francisco, AS) bilang, dunia sekarang ini didominasi oleh prinsip-prinsip ekonomi atensi. Pengungkapan segala macem kasus kawin-cerai para selebritis sampai gugat-menggugat seperti yang diaduk-aduk dalam acara infotainment, menurut Goldhaber, ujung-ujungnya adalah upaya menarik atensi, perhatian.
Bagi program dan TV yang menayangkannya (semakin banyak eyeballs yang menonton berarti semakin tinggi ratingnya, bukan ?) mau pun selebritis yang jadi bahan gunjingan, akumulasi atensi penonton adalah identik dengan peningkatan atau penurunan rejeki. Hitung-hitungan ekonomi, bukan ? Apalagi, publikasi jelek pun tetap saja berguna. Hingga seorang Oscar Wilde menulis : hal yang lebih jelek daripada digunjingkan orang adalah bila tidak digunjingkan orang. Keterkenalan adalah aset, komoditas yang berharga dalam konteks ekonomi atensi.
Nah, Erika, kamu selama ini telah berada di tengah pusaran dunia semacam itu, bukan ? Dan tak ada salahnya bila dengan cara-cara unik plus halal, Erika juga mampu memetik kiat-kiat ekonomi atensi tersebut demi peningkatan karier dan cita-citamu, bukan ?
Sebagai seseorang yang berkarier dalam industri televisi, yang kebetulan (masih) berada di belakang kamera, apa Erika kepingin menjadi terkenal dengan cara terpaksa seperti peristiwa tragis dan menyedihkan yang dialami oleh almarhum Ersa Siregar ? Apa harus melalui saat-saat menegangkan seperti yang dialami oleh Meutia Hafid dan Budiyanto ?
Wah, aku inget kejadian otentik 4/3/2005, saat Erika, Sabar dan Yanto, mau cabut dari Kajen, Wonogiri. Saat itu saya ingatkan dengan guyon, “jangan meliput sampai Irak ya”. Ajaib bin ajaib, saya terkaget sama jawaban humor cerdasnya Erika, yang bilang bahwa bila sampai ke Irak justru akan berpromosi kepada para penculik, “sandera saya, sanderalah saya !”
Ha, ha, ha. Well, rupanya mindset sebagai selebritis telah menyatu pada dirimu, Erika. Saya tahu potensimu itu, dan semua orang juga tahu (baca = Erika cantik !), maka surat ini pun hanya ingin memberi usul-usil gagasan upaya menampakkan keistimewaanmu itu (tetapi bukan hanya kecantikannya saja) agar sosok Erika semakin nyata muncul di permukaan dunia pertelevisian tempatmu berkiprah selama ini.
Begini Erika, nama “Jepang”-mu yang unik itu kan setiap hari muncul di televisi. Tetapi berbeda dengan pemunculan Lyra Virna, namamu muncul masih secara bergerombol dengan puluhan nama kru lainnya. Mungkin yang ngeh dan tahu siapa priyayi di balik nama “Erika Michiko” itu tidak banyak. Saya termasuk beruntung, karena bisa sedikit tahu siapa empunya nama wong Jepang ayu itu.
Nah, dengan kelak memperoleh MURI, paling tidak, namamu dan sosokmu pasti berpeluang untuk lebih menonjol, minimal, di antara gerombolan nama-nama pekerja televisi sesama kolegamu itu.
Dengan kelak memperoleh MURI, mungkin nanti Erika berpeluang bisa muncul di DEPAN kamera ! Mungkin untuk seterusnya, dengan menjadi presenter sesuatu acara. Kariermu di radio mempunyai langkah logis bila “naik pangkat”-nya jadi presenter televisi, bukan ?
Nanti Erika bener-bener sebagai selebritis. Mungkin malah akan diliput sendiri dalam Bussettt Erika belum pernah merasakan sensasinya, bukan ? Aku saja yang tak bisa nonton pemunculanku sendiri di TV7, 20/3/2005, tetapi reaksi teman-teman yang memberitahuku sudah memuaskan sensasi itu. Paling tidak, minimal Erika pasti tampil LEBIH ISTIMEWA di antara sesama kru Shandika atau pun kru rumah produksi lainnya.
Rahasia besar untuk memperoleh MURI itu sudah terhimpun di Communicator-mu, Erika. Inilah klaim yang saya usulkan dan dapat Erika kirimkan ke Pak Paulus Pangka di MURI, Semarang : SEBAGAI REPORTER TELEVISI PERTAMA YANG MEMPROFILKAN 100* PENERIMA MURI DALAM TAYANGAN BUSSETTT DI TV7- PRODUKSI SHANDIKA WIDYA SINEMA. (*Angka 100 itu dapat diubah sebanyak wawancara yang selama ini telah Erika lakukan. Semakin tinggi angkanya, semakin istimewa).
Coba simak baik-baik bunyi klaim di atas. Bahwa penghargaan MURI-mu itu nanti pasti menguntungkan fihak MURI sendiri (mereka akan lebih mudah menerima klaim kamu), mengangkat nama baik tempat kerjamu, Shandika, juga memoles nama baik TV7, dan terutama pasti melambungkan keistimewaan seorang Erika Diana Rizanti pribadi dengan klaim dahsyat sebagai yang “pertama” dalam kategori ini. Minimal dalam konteks ini, dengan berpredikat sebagai yang “pertama”, namamu, Erika Diana Rizanti, akan abadi di MURI.
Semoga usul-usil ini bermanfaat, Erika. Usul-usil ini muncul dipicu buku mungil The Little Pot of Gold : 100 Keys to Success and Wealth-nya Peter Spann (2003), ketika membahas Rahasia Ketiga dari Money Magnetism : Leverage. (hal. 33).
Kata Pak Spann, leverage is all about doing more with what you’ve got. When you apply leverage to a quality product or service, it increases the returns and rewards that you get.
Contoh kecil : gara-gara Erika, tumpukan koran di kamar saya, dengan sedikit bongkar-bongkar bisa memunculkan leverage itu : kumpulan data orang unik yang aku kirimkan ke Erika beberapa waktu lalu. Bahkan kalau mau berpikir smart, ratusan data orang unik yang selama ini tersimpan dalam Communicator-nya Erika, bagiku, merupakan harta karun informasi, juga khasanah wisdom, yang masih tersembunyi dan menunggu untuk dieksploitasi. Tetapi itu akan menjadi cerita yang lain lagi, lain kali.
Sebagai penutup : kalau Erika, Sabar dan Yanto lagi mobiling seputar Solo, silakan mencari Pak Solihin, kampung Kismorejo Rt 1/10, Mojosongo, Jebres, Solo. Ia memiliki pohon pisang macho dan seksi, karena tandan buahnya terlihat “ereksi”, menembus tegak di pertengahan batangnya.
Sedang bila keluyuran sampai Tegal, mainlah ke desa Pangkah, 4 km arah ketimur dari Slawi. Silakan menemukan 11 lokomotif kuno yang selama ini untuk mengangkut tebu, tetapi kini bisa disewa. Sewanya 750 ribu- 1,5 juta. Di kompleks ini Erika silakan banyak-banyak makan tebu, hingga nanti tambah semakin manis.
Sampai jumpa di obrolan mendatang. Mohon maaf bila ada kesalahan besar di sana-sini. Wah, lama-lama saya jadi ketularan mindset orang-orang kru Bussettt ya ? Gawat.
Salam saya,
Bambang Haryanto
Alumnus Bussettt Indonesia
Kajen, Wonogiri, 17 April 2005 : 04.20-07.52