Friday, April 22, 2005

Erika, MURI dan Ekonomi Atensi

Oleh : Bambang Haryanto


Eureka, Erika !

Dear Erika, pernahkah tercetus gagasan pada dirimu untuk memperoleh penghargaan MURI ? Saya senang bila reaksimu setelah membaca pertanyaan ini adalah tertawa. Mungkin yang segera muncul di benakmu adalah pertanyaan besar : Apa mungkin ? Atau : untuk apa Penghargaan MURI bagi seorang Erika ?

Flashback ke suasana Hotel Grasia, Semarang, 27 Januari 2005. Saya senang mengenang tanggal dan hari ini, karena pada hari itu saya terperangkap pandangan (sesuai teori blink-nya Malcolm Gladwell yang sudah saya ceritakan di email sebulan lalu) terhadap seorang lady in black (judul lagu topnya Uriah Heep !) yang menawan, yang dua bulan kemudian ternyata bernama indah Erika. Saat itu acara televisi Bussettt sama sekali tak ada di kepalaku ini.

Ringkasnya, moga Erika tak lupa, di acara HUT MURI Ke-15 itu seorang Helmy Yahya pun, yang sudah kondang itu, ternyata nampak berbangga dan bergembira memperoleh MURI-nya. Juga Ruddy Choirudin, selebritis masak-memasak di televisi. Bahkan pemilik usaha raksasa batik Danarhadi, Solo, juga berupaya memperoleh penghargaan MURI dan sekaligus membuatnya berbangga saat memperolehnya.


Erika, kalau mau, kau bisa memperoleh MURI pula. Dan prestasi itu cukup penting bagi dirimu. Tetapi terutama landasan filosofi atau alasannya, menurutku lho, yang justru lebih penting untuk Erika ketahui demi kemajuan kariermu, cita-citamu. Mengapa penting ? Dan seberapa penting ?

Erika, kamu saat ini kan berkarier di dunia media massa, dunia televisi. Saya ingin mengingatkan kembali, betapa dalam dunia satu ini komoditas yang terpenting adalah : atensi, perhatian. Para selebritis itu produk jualan utamanya adalah atensi, perhatian, bukan ?

Bahkan seorang Michael Goldhaber (Centre for Technology & Democracy di San Francisco, AS) bilang, dunia sekarang ini didominasi oleh prinsip-prinsip ekonomi atensi. Pengungkapan segala macem kasus kawin-cerai para selebritis sampai gugat-menggugat seperti yang diaduk-aduk dalam acara infotainment, menurut Goldhaber, ujung-ujungnya adalah upaya menarik atensi, perhatian.

Bagi program dan TV yang menayangkannya (semakin banyak eyeballs yang menonton berarti semakin tinggi ratingnya, bukan ?) mau pun selebritis yang jadi bahan gunjingan, akumulasi atensi penonton adalah identik dengan peningkatan atau penurunan rejeki. Hitung-hitungan ekonomi, bukan ? Apalagi, publikasi jelek pun tetap saja berguna. Hingga seorang Oscar Wilde menulis : hal yang lebih jelek daripada digunjingkan orang adalah bila tidak digunjingkan orang. Keterkenalan adalah aset, komoditas yang berharga dalam konteks ekonomi atensi.

Nah, Erika, kamu selama ini telah berada di tengah pusaran dunia semacam itu, bukan ? Dan tak ada salahnya bila dengan cara-cara unik plus halal, Erika juga mampu memetik kiat-kiat ekonomi atensi tersebut demi peningkatan karier dan cita-citamu, bukan ?

Sebagai seseorang yang berkarier dalam industri televisi, yang kebetulan (masih) berada di belakang kamera, apa Erika kepingin menjadi terkenal dengan cara terpaksa seperti peristiwa tragis dan menyedihkan yang dialami oleh almarhum Ersa Siregar ? Apa harus melalui saat-saat menegangkan seperti yang dialami oleh Meutia Hafid dan Budiyanto ?

Wah, aku inget kejadian otentik 4/3/2005, saat Erika, Sabar dan Yanto, mau cabut dari Kajen, Wonogiri. Saat itu saya ingatkan dengan guyon, “jangan meliput sampai Irak ya”. Ajaib bin ajaib, saya terkaget sama jawaban humor cerdasnya Erika, yang bilang bahwa bila sampai ke Irak justru akan berpromosi kepada para penculik, “sandera saya, sanderalah saya !”

Ha, ha, ha. Well, rupanya mindset sebagai selebritis telah menyatu pada dirimu, Erika. Saya tahu potensimu itu, dan semua orang juga tahu (baca = Erika cantik !), maka surat ini pun hanya ingin memberi usul-usil gagasan upaya menampakkan keistimewaanmu itu (tetapi bukan hanya kecantikannya saja) agar sosok Erika semakin nyata muncul di permukaan dunia pertelevisian tempatmu berkiprah selama ini.

Begini Erika, nama “Jepang”-mu yang unik itu kan setiap hari muncul di televisi. Tetapi berbeda dengan pemunculan Lyra Virna, namamu muncul masih secara bergerombol dengan puluhan nama kru lainnya. Mungkin yang ngeh dan tahu siapa priyayi di balik nama “Erika Michiko” itu tidak banyak. Saya termasuk beruntung, karena bisa sedikit tahu siapa empunya nama wong Jepang ayu itu.

Nah, dengan kelak memperoleh MURI, paling tidak, namamu dan sosokmu pasti berpeluang untuk lebih menonjol, minimal, di antara gerombolan nama-nama pekerja televisi sesama kolegamu itu.

Dengan kelak memperoleh MURI, mungkin nanti Erika berpeluang bisa muncul di DEPAN kamera ! Mungkin untuk seterusnya, dengan menjadi presenter sesuatu acara. Kariermu di radio mempunyai langkah logis bila “naik pangkat”-nya jadi presenter televisi, bukan ?

Nanti Erika bener-bener sebagai selebritis. Mungkin malah akan diliput sendiri dalam Bussettt Erika belum pernah merasakan sensasinya, bukan ? Aku saja yang tak bisa nonton pemunculanku sendiri di TV7, 20/3/2005, tetapi reaksi teman-teman yang memberitahuku sudah memuaskan sensasi itu. Paling tidak, minimal Erika pasti tampil LEBIH ISTIMEWA di antara sesama kru Shandika atau pun kru rumah produksi lainnya.

Rahasia besar untuk memperoleh MURI itu sudah terhimpun di Communicator-mu, Erika. Inilah klaim yang saya usulkan dan dapat Erika kirimkan ke Pak Paulus Pangka di MURI, Semarang : SEBAGAI REPORTER TELEVISI PERTAMA YANG MEMPROFILKAN 100* PENERIMA MURI DALAM TAYANGAN BUSSETTT DI TV7- PRODUKSI SHANDIKA WIDYA SINEMA. (*Angka 100 itu dapat diubah sebanyak wawancara yang selama ini telah Erika lakukan. Semakin tinggi angkanya, semakin istimewa).

Coba simak baik-baik bunyi klaim di atas. Bahwa penghargaan MURI-mu itu nanti pasti menguntungkan fihak MURI sendiri (mereka akan lebih mudah menerima klaim kamu), mengangkat nama baik tempat kerjamu, Shandika, juga memoles nama baik TV7, dan terutama pasti melambungkan keistimewaan seorang Erika Diana Rizanti pribadi dengan klaim dahsyat sebagai yang “pertama” dalam kategori ini. Minimal dalam konteks ini, dengan berpredikat sebagai yang “pertama”, namamu, Erika Diana Rizanti, akan abadi di MURI.

Semoga usul-usil ini bermanfaat, Erika. Usul-usil ini muncul dipicu buku mungil The Little Pot of Gold : 100 Keys to Success and Wealth-nya Peter Spann (2003), ketika membahas Rahasia Ketiga dari Money Magnetism : Leverage. (hal. 33).

Kata Pak Spann, leverage is all about doing more with what you’ve got. When you apply leverage to a quality product or service, it increases the returns and rewards that you get.

Contoh kecil : gara-gara Erika, tumpukan koran di kamar saya, dengan sedikit bongkar-bongkar bisa memunculkan leverage itu : kumpulan data orang unik yang aku kirimkan ke Erika beberapa waktu lalu. Bahkan kalau mau berpikir smart, ratusan data orang unik yang selama ini tersimpan dalam Communicator-nya Erika, bagiku, merupakan harta karun informasi, juga khasanah wisdom, yang masih tersembunyi dan menunggu untuk dieksploitasi. Tetapi itu akan menjadi cerita yang lain lagi, lain kali.

Sebagai penutup : kalau Erika, Sabar dan Yanto lagi mobiling seputar Solo, silakan mencari Pak Solihin, kampung Kismorejo Rt 1/10, Mojosongo, Jebres, Solo. Ia memiliki pohon pisang macho dan seksi, karena tandan buahnya terlihat “ereksi”, menembus tegak di pertengahan batangnya.

Sedang bila keluyuran sampai Tegal, mainlah ke desa Pangkah, 4 km arah ketimur dari Slawi. Silakan menemukan 11 lokomotif kuno yang selama ini untuk mengangkut tebu, tetapi kini bisa disewa. Sewanya 750 ribu- 1,5 juta. Di kompleks ini Erika silakan banyak-banyak makan tebu, hingga nanti tambah semakin manis.

Sampai jumpa di obrolan mendatang. Mohon maaf bila ada kesalahan besar di sana-sini. Wah, lama-lama saya jadi ketularan mindset orang-orang kru Bussettt ya ? Gawat.


Salam saya,



Bambang Haryanto
Alumnus Bussettt Indonesia
Kajen, Wonogiri, 17 April 2005 : 04.20-07.52

Tuesday, March 15, 2005

You Broke My Heart, Erika !

Oleh : Bambang Haryanto


BUKU YANG MEMBUATKU MENANGIS. Hari ini, 14/3, aku bisa kembali melakukan olah raga jalan kaki pagi. Ditemani siaran radio BBC lewat telepon seluler, yang antara lain yang mewartakan bahwa Cina merebut 4 dari 5 gelar di All England. Indonesia pulang dengan tangan hampa. Juga berita Newcastle United dan Blackburn Rovers berhasil lolos ke semifinal Piala FA, menyusul Arsenal dan MU.

Jalan kaki pagi adalah ritus, ah apa bisa disebut ritus, karena aku akhir-akhir ini tidak begitu teratur mengerjakannya. Walau pun demikian, sejak 1989, aku melakukannya, sebagai perayaan pribadi setelah aku berhasil berhenti merokok (Oh, BBC juga mewartakan pabrik rokok Sampoerna diakuisisi oleh pabrik rokok raksasa AS, Phillip Morris, produser Marlboro. Indonesia adalah surga bagi the merchant of death asal AS itu, bukan ?).

Kalau di Jakarta, favoritku untuk jalan kaki pagi di hari Minggu adalah area seputar lapangan pacuan kuda, di Pulomas. Ada senam disko. Juga senam pernafasan. Pagi cerah, rumput menghijau, suara ringkik dan derap kaki-kaki kuda, derai suara anak-anak atau teriakan anak-anak ABG main bola. Sementara aku, setelah muter lapangan 3-4 kali, di tribun sesekali tenggelam dalam lembar demi lembar Being Digital-nya Nicholas Negroponte. Buku teknologi informasi ini saking optimistis isinya sampai membuatku rela menangis, mengalirkan air mata.

Jalan kakiku pagi ini dengan penampilan baru. Semalam aku mencukur habis kumisku. Melirik kliping koran yang tertempel di dinding, Radar Solo (29/9/2000), yang memajang fotoku saat menerima penghargaan MURI, ternyata aku telah memelihara kumis itu selama lima tahun terakhir. “Karena tidak ngopeni istri, maka aku ngopeni saja kumis ini”, kilahku sambil berha-ha bila ada seseorang yang usil “mengusik-usik” status bujangan tuaku ini.

Selain menebas habis kumis, semalam aku mencoba mengirim email kepada salah seorang kandidat walikota Solo. Namanya DR. Achmad Purnomo, APT. Dosen di UGM Yogyakarta. Aku tak tahu account email Pak Purnomo. Aku pernah mencoba mengobok-obok situs UGM, tapi tak ketemu jua. Universitas dalam negeri masih sangat payah dalam menfasilitasi saluran informasi untuk menghubungkan sivitas akademikanya dengan masyarakat luas.

Berbeda, misalnya, dengan perguruan tinggi di AS. Ketika seorang mahasiswa pasca sarjana, Roby Muhamad dari Universitas Columbia di New York menulis artikel mengenai ilmu jaringan di Kompas (5/9/2003), maka lewat Google saya segera memperoleh data komplet dari sosok yang bersangkutan. Baik biodatanya, alamat suratnya, sekaligus alamat emailnya. Saya kirimkan email, diskusi ilmiah pun antara kita terjadi. Bahkan saya mendapatkan kopi PDF artikelnya yang telah dimuat di majalah Science yang bergengsi. Benarlah kata pustakawan dan penulis Daniel Boorstin, teknologi komunikasi mampu mendekatkan yang jauh tetapi sekaligus menjauhkan yang dekat.

Rumah DR. Achmad Purnomo, APT di Solo itu berseberangan dengan warnet, dimana antara dirinya dengan pemilik warnet itu masih ada kaitan famili yang dekat. Sekali lagi, aku tak tahu account email Pak Purnomo, tapi tahu account email warnet tersebut yang aku catat dari desktop komputer-komputernya. Aku kirim emailku ke warnet itu , dengan harapan mereka sudi mem-forward kepada Pak Pur bersangkutan. Ternyata email warnet tersebut bodong adanya. Emailku gagal. Dasar nasib. Mungkin aku harus coba lagi dengan cara snail-mail saja !

Emailku itu sebenarnya cuman berisi rasa gatal saya melihat strategi komunikasi dia dalam mengenalkan diri melalui media massa Solo akhir-akhir ini. Aku belum mengenalnya, demikian juga diriku tak dia kenal. Aku mengenalnya hanya dari media massa. Satu contoh saja : ia muncul dengan foto dalam iklan keroyokan guna mengucapkan selamat Dies Natalis UNS Sebelas Maret. Data dirinya hanya menyebutkan nama DR. A. Purnomo, alumnus UGM dan pengusaha sukses Solo.

Hemat saya data itu harusnya ditambah alamat, nomor telepon, sebaiknya juga email. Tetapi strategi komunikasi model mumi ini, yang bersedakap, berbalut ketat kain dan tidak mau dijamah, juga umum dijumpai dalam iklan-iklan pencalonan kepala daerah yang makin marak akhir-akhir ini. Iklan-iklan mereka sungguh untouchable, tidak membuka peluang interaksi lebih lanjut antara diri mereka dengan konstituennya.

Orang-orang yang belum punya mindset dunia digital berpikir bahwa pemunculan iklan atau berita di media berbasis atom, alias kertas, merupakan terminal akhir suatu informasi. Padahal, agar pesan informasi tersebut makin komprehensif dan tidak bias, pemuatan itu hanyalah awal. Lanjutannya adalah percakapan, interaksi langsung, antara pencetus dengan konsumen informasi. “Markets are conversations”, begitu kredo Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), manifesto baru untuk dunia bisnis dalam era digital.

Kegatalan saya yang lain, adalah melihat Pak Purnomo itu nampaknya memakai “kendaraan” Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (KAGAMA) Solo, di mana ia juga ketuanya, sebagai sarana untuk sosialisasi diri menuju kursi AD-1, Walikota Solo itu. Apakah strategi kampanye semacam ini bukan sebuah blunder besar ?

KAGAMA itu bukankah kuat mencitrakan Jogja ? Apakah isi pikiran warga Solo rela diinvasi “produk” dari Jogja ? Bayangkan : alumni Universitas Sebelas Maret yang tinggal di Yogya, lalu mereka ramai-ramai menyalonkan ketua organisasi alumninya untuk menjadi walikota Jogja, apa kira-kira reaksi tipikal warga Jogja sendiri ? Pagi-pagi hal ini mudah memicu penolakan mereka !


IT WAS DESTINY'S GAME, ERIKA !. Cerita-cerita tentang Jogja dan mungkin penolakan untukku, mudah terkait dengan seseorang yang berdomisili di Jogja, yang memesona. Eureka, Erika ! Oh, mungkin bukan penolakan (sok optimis), tetapi belum adanya ramuan kimia yang serasi dalam pola berkomunikasi antara kita. OK, mungkin kita (tegasnya, saya), yang dipaksa harus melakukan cooling down guna memperoleh perspektif yang lebih memadai dalam membangun komunikasi lanjutan. Atau terhenti sementara untuk saat ini.

Repotnya, komunikasi yang satu ini tidak melulu rasional. Tetapi juga melibatkan emosional. Emotion lead to action, begitu kata ahli pemasaran untuk kaum Venus, kaum wanita, Hermawan Kartajaya. Ketika saya memergokinya pertama kali, 27 Januari 2005, di hiruk-piluk HUT Ke-15 Muri, Hotel Grasia, Semarang, secara instinktif (emosi bukan ?), hatiku berkata : I like her. So much !.

Ini nampaknya jatuh cinta kilat (man can be compared to pile of dry leaves, strike a match to the leaves, and they catch fire immediately) dan sepihak, tetapi aku harus bangga untuk mengungkapkannya. Cinta itu anugerah, kata Dul Sumbang.

Pemicunya memang begitu deras. Sebab kalau diungkit-ungkit pakai rumus Oedipus Complex, memang telah muncul sekelebat wajah ibu saya ketika muda saat diriku terpana wajah Erika. Diakah soul mate yang tiba-tiba jatuh dari surga ? Meminjam lirik salah satu lagunya Spice Girls : fly like an angel/ have ever sent to me ?.

Buku harianku pun 27 Januari 2005 mencatat : Aku juga memberikan press kit ke wartawati Wawasan dan juga wartawati TV7, mengena di hati (“rada jatuh cinta”), berjilbab hitam, kaus hitam dan celana hitam, “waduh, kok menarik juga ya ?” Ia meliput untuk acara Busettt, “tapi tak aku ketahui namanya”, ia tanya alamat (ada di selebaran) dan, bila layak tentunya, ia yang akan mendatangiku. Bisakah kita jumpa lagi, orang cantik ? .

Si orang cantik Erika itu, ya Tuhan, ternyata bisa aku jumpai lagi. Bahkan, demi pekerjaannya, ia yang menemuiku. Bahkan ketika sopirnya bilang bahwa mudah menemukan rumahku di Wonogiri ini, Erika pun menimpali, “dasar sudah jodoh...”.Kembali emosi yang mendorong aksiku beberapa hari kemudian.

Sekadar contoh, inilah SMS tiga porsi pulsa yang aku kirim kepadanya :

Eureka, Erika ! FYI : 1. DION D. 0274-54xxxx. Ia kan “militer”, mk SMSku yl pesan : “You akan diinterview wtwt TV yg cantik skl, Erika. Jgn disandera ya ?” Wah SMSku ini msk ke HP his X-wife. Sori, Erika. 2. JUNAIDI SYAM, 081 56807xxx, 0274-580xxx. Kartunis Muri, terpanjang (2002). 3. Emailku 2 hal, cerita teori Blink saat aku menjual ide/diri kpd Lady In Black, 27/1/05 di Smg,... koq ya sd 7 hr dicuekin. Oh, sbg epistoholik, “You broke my heart, Erika...” BH (Dikirim : Sabtu, 12-Mar-2005, 09:00:39).

SMS Erika : Maaf, sy kan anak jalanan, lum sempat di dpn komputer....Td mlm sy dah ke rmh mas Dion. Suwun (Dikirim : Sabtu, 12-Mar-2005, 09:03:50).

Hello, Pak John Gottman, apakah relationship semacam ini ada peluang di masa depannya ? “In a restless world like this is, love is ended before it's begun”, rintih Karen Carpenters. Sudahlah. Break dulu. Dan di masa depan dekat ini dicari-cari saja segi positifnya. Termasuk harus mensyukuri karena masih ada brief encounter yang indah (filmnya yang juga indah dibintangi Sophia Loren dan Richard Burton, di jaman kuda gigit besi ya ?) semacam ini dalam hidupku.

Jose Mari Chan dalam “Beautiful Girl” memberiku pencerahan. Atau bahkan mungkin kesimpulan :

It was destiny's game
For when love finally came on
I rushed in line only to find
That you were gone.


PR BARU : MABUK FRIENDS. Semalam juga saya baru mampu menonton 6 episode sitkom Friends-nya Jennifer Aniston dan kawan-kawan. Impian untuk menjadi stand-up comedian yang timbul sedikit tetapi lebih banyak tenggelamnya di dada ini, baru besar di niat tetapi tak ada action selama ini, mencoba mencari vitamin dari tayangan DVD ini. Masih ada 42 lagi episode yang harus ditonton. Lalu harus diulangi lagi guna mampu meraih esens atau inti d isebalik humor-humor cerdas mereka.

Sekilasan, yang menonjol adalah formula The Comparison seperti diungkap Ronald Wolfe dalam Writing Comedy (1992). Srimulat juga sering melakukannya. Misalnya Basuki menunjuk tiga lawan mainnya, bintang tamu cantik Lyra Virna, Nunung dan Gogon, dengan perbandingan : emas, perak, dan pantat kuali.

Ketika Joey Tribiani di Hari Thanksgivings harus menghabiskan panggang kalkun seeart hampir sepuluh kilo, ia pun menyambutnya dengan bersemangat : “Kalkun adalah binatang bertampang jelek, dan goblog dan lezat”.

Lanjutnya : “Kita mungkin bukan pemikir hebat atau pemimpin dunia, kita tidak banyak membaca buku, kita pun tidak mampu berlari cepat, tetapi, brengsek, kita dapat makan !”

Tayangan Friends ini merupakan setitik oasis, setelah sebelumnya saya mencoba bertahan 2 menit untuk menonton reality show API di stasiun televisi swasta TPI. Aku engga ngerti mengapa kaum-kaum moron itu bisa berhaha-hihi di layar televisi. Mungkin mereka memiliki keberanian, dimana hal sangat penting ini justru belum aku miliki.

Covey punya istilah yang aku kira cocok, bahwa aku kena sindrom mahasiswa abadi. Terlalu banyak belajar, terlalu banyak teori, tetapi kurang aksi. I Know, I know.


UJUNG OLAH RAGA JALAN KAKI PAGI INI : PASAR WONOGIRI. Saya senang jalan-jalan ke pasar tradisional. Juga karena terpaksa, sebab sebagai bujangan, aku kadang harus mau masak sendiri. Tahun 1999 aku pernah memimpikan menang dalam lomba karya tulis bersubjek teknologi komunikasi dan informasi yang diadakan oleh PT Indosat. Kalau juara pertama, saya bisa membeli komputer. Ternyata, hanya juara harapan, sehingga bukan komputer yang terbeli, tetapi sebuah kompor Butterfly.

Kompor minyak itu pula, sudah 5 tahun lebih ini, yang jadi andalanku untuk ritus sebagai koki. Masakanku semuanya memakai menu diktator, dimana orang lain harus mau memberikan komentar “enak” dan haram untuk komentar lainnya sesudah merasakannya. Aku tidak bisa membayangkan apa komentar orang yang membuka PDA-ku yang hilang di Singapura, Januari 2005 yang lalu. Sebab dalam kolom “Expense” akan mereka temui daftar belanja : cabe merah, bawang merah, bawang putih, terasi, ketumbar, tahu, tempe, bumbu masak, kangkung, wortel, tomat.....

Kesenangan untuk blusukan pasar, mungkin juga karena bakat turunan. Turunan sebagai “orang pasar”, karena ibu saya pernah memiliki kios di pasar Wonogiri. Pernah ia membuka kantin di Kodim 0728 Wonogiri. Juga pada tiap hari penerimaan gaji untuk pensiunan, ibu saya membuka penjualan pakaian secara kredit untuk para pensiunan di Kantor Pos Wonogiri . Berbeda dengan diriku yang introver, ibuku seorang yang ekstrover. Banyak temannya. Banyak kegiatannya. “Untuk memelihara silaturahmi, juga untuk hiburan”, katanya.

Untuk tujuan serupa, ia pernah pula naik panggung dengan berdandan sebagai Petruk. Saya terkesan bila melihat kembali foto-fotonya. Diilhami pentas Ria Jenaka di TVRI, dia dan kawan-kawan sesama anggota istri pensiunan TNI/AD, tampil melawak dan menyampaikan informasi. Tepatnya, ya memberikan indoktrinasi model Orde Baru di jaman itu. Ibu saya, Sukarni, meninggal tahun 1993.

Pentas melawak itulah yang belum mampu diwujudkan secara resmi oleh putranya ini, walau terus mencita-citakannya. Seperti impian sangat besar yang tertulis dalam poster mini dalam bingkai, tertanggal 1 Februari 2004 (Mungkin akan nampak close-up dalam tayangan profilku di program Bussseeettt-nya TV7. Mungkin lho..) berbunyi :

Bambang Haryanto tak pelak adalah komedian Indonesia modern yang cerdas, rendah hati, jujur, simpatik, lucu dan bijak, sehingga pantaslah kalau tarifnya kini milyaran !


“JANGKAU IMPIAN SETINGGI BINTANG”, demikian bunyi inskripsi dalam trofi berbentuk tiga anak tangga dari bahan resin warna tosca yang aku terima sebagai seorang epistoholik yang mendapat penghargaan Mandom Resolution Award 2004. Sebelahnya berdiri kokoh trofi yang ada tulisan Jepang Kanji, ada terjemahan “Dreams” dan tanda tangan pendiri imperium mobil Jepang, Soichiro Honda. Aku memperolehnya ketika memenangkan The Power of Dreams Contest 2002 yang diselenggarakan oleh PT Honda Prospect Motor.

Trofi-trofi itu berada di mejaku. Seharusnya trofi itu setiap hari bisa hidup, lalu menamparku setiap hari, ketika aku lalai dalam menghidup-hidupkan sebuah impian dalam wujud tindakan dan tindakan yang berkesinambungan. Alangkah indah, oh, bila tamparan itu bukan hanya datang dari benda bernama trofi, tetapi juga dari sesungging senyuman seorang Erika.


Halo, halo : sadarkah bahwa Anda sedang menikmati sebuah pentas tragedi-komedi ?


Wonogiri, 14-15 Maret 2000

Tuesday, March 08, 2005

Buku Harian Bambang Haryanto : 27 Januari 2005

Dari HUT ke 15 Museum Rekor Indonesia, 27 Januari 2005, di Hotel Grasia, Semarang : “Aku juga memberikan press kit ke wartawati Wawasan dan juga wartawati TV7, mengena di hati (‘rada jatuh cinta’), berjilbab hitam, kaus hitam dan celana hitam, ‘waduh, kok menarik juga ya ?’.

Ia meliput untuk acara Busettt, ‘tapi tak aku ketahui namanya’, ia tanya alamat (ada di slebaran) dan, bila layak tentunya, ia yang akan mendatangiku.

Bisakah kita jumpa lagi, orang cantik ?